Maulana Ihsan Ardiansyah

Tuesday, December 22, 2015

IBU

ISTRI SHOLEHAH..
(Menyambut Hari Ibu).

Aku milik suamiku dan SUAMIKU MILIK IBUNYA..

Seburuk apapun mertua.. aku selalu ingat bahwa.. Dia..adalah wanita yang mngandung suamiku dalam kepayahan selama 9 bulan.

Dia..adalah wanita yang air susunya menjadi makanan pertama bagi suamiku..

Dia..adalah wanita yang mendidik dan membesarkan suamiku, yg mengajarkan kepada suamiku akhlaq sehingga aku nyaman di sisi suamiku..��

Aku.. Ga pernah keluar uang sepeserpun untuk menyekolahin suamiku.. hingga ia dapat ijazah, yg sekarang ijazah itu ia gunakan utk mencari nafkah..untuk menafkahi aku..!!

Aku.. ga sedikitpun mendidik suamiku hingga kini ia jadi pria yg penuh tanggung jawab.. dan aku merasakan bahagia menjadi istrinya��

Setelah pengorbanan Ibu yang bertubi tubi.. anak laki lakinya menikah denganku.. dia bagi kasih sayang anaknya denganku..

Cemburu...?? Pasti dia cemburu.. aku wanita asing, yang kini selalu disayang2 oleh anak laki lakinya..

Harta anak laki lakinya tercurah untuk kunikmati padahal ia yang melahirkan, membesarkan, dan mendidiknya. .

Aku memahami cemburu itu.. walau aku pun merasakan cemburu ketika suamiku lebih memihak mertuaku..

Aku bukan malaikat yg gak pernah jengkel dgn mertuaku,, dan mertuaku pun bukan malaikat yang selalu kubela.
Adakalanya aku marah..cemburu dan sakit hati...!!

Namun aku ingat semua jasanya pada suamiku.. jasa yang sampai akhir hayatpun aku nggak akan mampu membayarnya..

Pada ujung tangisku.. terngiang nasehat ibundaku tercinta..

"Nak.. dukunglah suamimu untuk berbakti pada ibunya.. jangan suruh ia memilih antara kau dan ibunya!!

Karena.. kelak kau akan merasakan bagaimana sakitnya diperlakukan seperti itu oleh anak laki lakimu..

Apa yg kau lakukan pada mertuamu.. akan dilakukan pula oleh menantumu.. segala sesuatu pasti ada timbal baliknya"..

Dan tangisku makin deras..!!!

Oh suamiku.. bahagiakanlah orang tuamu semampumu..

Semoga kelak anak2 kita pun membahagiakan kita, sebagai balasan baktimu pada orang tuamu

������

Semoga bermanfaat

Tuesday, December 08, 2015

Moral Etika

Ini tulisan yg sangat bagus. saya tdk bosan2nya membaca :

Anak anak yang dididik dalam keluarga yang penuh kesantunan, etika tata krama & sikap kesederhanaan akan tumbuh menjadi anak anak yang tangguh, disenangi & disegani banyak orang.
Mereka tau aturan makan table manner di restoran mewah.
Tapi ngga canggung makan di warteg kaki lima.
Mereka sanggup beli barang barang mewah.
Tapi tau mana yang keinginan dan kebutuhan.
Mereka biasa pergi naik pesawat antar kota.
Tapi santai aja saat harus naik angkot kemana mana.
Mereka berbicara formal saat bertemu orang berpendidikan.
Tapi mampu berbicara santai bertemu orang jalanan.
Mereka berbicara visioner saat bertemu rekan kerja.
Tapi mampu bercanda lepas bertemu teman sekolah.
Mereka ngga norak pas ketemu orang kaya.
Tapi juga ngga merendahkan orang yg lebih miskin darinya.

Mereka mampu beli barang barang bergengsi.
Tapi sadar kalo yang membuat dirinya bergengsi
adalah kualitas & kapasitas dirinya, bukan dari barang yang dikenakan.
Mereka punya..
Tapi ngga teriak kemana mana.
Kerendahan hati yang membuat orang lain respect dengan dirinya.

Jangan didik anak dari kecil dengan penuh kemanjaan, apalagi sampai melupakan kesantunan & etika tata krama.

Hal hal sederhana tentang kesantunan seperti : Pamit pas pergi dari rumah, permisi saat masuk ke rumah temen (karena ternyata banyak orang masuk ke rumah orang ngga punya sopan santun, ngga nyapa orang orang yg ada di rumah itu), balikin pinjeman uang sekecil apapun, berani minta maaf pas ada kesalahan & tau terima kasih kalo dibantu sekecil apapun. Kelihatannya sederhana, tapi orang yang ngga punya attitude itu ga akan mampu melakukannya.

Bersyukurlah, bukan karena kita terlahir di keluarga yang kaya atau cukup.
Bersyukurlah kalau kita terlahir di keluarga yang mengajarkan kita kesantunan, etika tata krama & kesederhanaan.

Karena ini jauh lebih mahal daripada sekedar uang.

Thursday, December 03, 2015

Ijinkan Aku Bertutur

KEMBALIKAN ANAK LELAKIKU

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, lalu kubilang pada ayahnya : “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab:“Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”

Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.
Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah. Lalu kubilang pada suamiku:
“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”

Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: “Oh ya. Ide bagus itu.”

Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.

Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran Matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago Matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.
Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.

Sejak hari itu, Ahmad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
“Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!” Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. “Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”

Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.

Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak, “Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!” Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.

Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini.

Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: “Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun kelima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!”

Allahumma Shalii ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, “Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?”

Aku memandang suamiku yang terpaku.

Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.
Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua, “Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa, kecuali Cinta.

Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan. Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya.

Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: “Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”

Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu

Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu.
Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.

Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu! Amin, Alhamdulillah.

��Tulisan di atas adalah sepenggal kisah nyata kehidupan Neno Warisman untuk para Ayah Indonesia dalam buku “Izinkan Aku Bertutur”.